Masih suasana lebaran, mohon maaf lahir batin ya 🙂

Baru ingat punya hutang cerita. Tentang pelajaran hati pas Idul Fitri kemarin di rumah Cipinang. Bukan, ini bukan tentang Pak Rono si gagah pemecah batu tempo waktu. Kali ini, aku belajar dari seorang lelaki pengumpul benda-benda rongsokan. Kepala keluarga dari istri yang berprofesi sama, dan 4 orang anak.

Suamiku biasa memanggilnya Ipon. Nama panggilan yang familier di lingkungan rumah mereka. Sejak kecil, mereka bertetangga. Keluarga Pak Ipon tinggal di rumah komplek Pegadaian, berdekatan dengan lingkungan tinggal suamiku. Ayahnya orang yang memiliki jabatan; ibunya yang ramah sering berbelanja kebutuhan rumah tangga di warung Emak; rumahnya luas…suamiku mengisahkan. Tapi semenjak ayah dan ibunya meninggal, pak Ipon hidupnya berubah 180 derajat. Saudara-saudaranya sih ada, pada “jadi orang” semua. Nasib, hanya pak Ipon sendiri yang kurang beruntung.

Aku bukan ingin mengisahkan betapa menderitanya Pak Ipon. Yang menjadi fokusku adalah, setiap bertemu sapa, dia selalu tersenyum. Terlihat hidup sangat berdamai dengannya. Padahal, kita tak akan mengira hidup seperti apa yang telah dia lalui. Aku berkesimpulan, mungkin rasa syukurnya melebihi derita hidupnya.
Dan Hari Raya kemarin, fokusku berubah. Aku baru tau kalau Pak Ipon punya 4 orang anak.

Buatku, ini lagi-lagi seperti “tamparan” penyadaran diri. Bahwa, urusan keturunan, urusan punya anak itu bukanlah ranah kekuasaanku. Ternyata sama sekali bukan urusanku. Aku cuma bisa ketawa miris dalam hati melihat anak-anak Pak Ipon saling pukul, berkata kasar dan memakai “baju paling baik”-nya di Hari Raya itu.

Kalau seandainya syarat menjadi orang tua itu harus bisa mendidik anak-anaknya tentang sopan santun, pasti aku lebih layak menjadi orang tua daripada pasangan pengais rongsokan ini. Kalau saja, syarat menjadi orang tua itu adalah dapat menyediakan baju-baju yang indah dan bersih, tentulah aku lebih pantas dibanding mereka. Andai untuk dapat menjadi seorang ibu ada test-nya. Ujian contoh kasus yang harus dijawab dengan teori-teori parenting, dan yang menjawab paling banyak benar, yang boleh hamil…sudah pasti aku yang hamil lebih sering daripada istrinya Pak Ipon.

Ya Rabb, aku malu. Aku yang dengan sombong penuh teori menyatakan belum siap untuk menjadi ibu. Aku yang telah membuat banyak rencana untuk segala program kehamilan. Aku yang menyatakan kalau ilmuku belum cukup untuk menjadi pendidik anak-anakku. Aku yang sok hitung-hitungan, dan bilang bahwa tabungan kita belum cukup banyak untuk memelihara seorang anak. Belum mampu jadi orang tua. Aku yang jarang sekali bersimpuh mengiba untuk merayuMU.

Astaghfirullah, siapa aku? Sesungguhnya penciptaan anak keturunanku cuma Allah yang maha punya kuasa. Bener-bener suka-sukanya Allah aja deh mau menunjuk siapa yang akan menjadi orang tua. Siapa yang akan DIA beri rezeki seorang anak sebagai titipan.

Mulai syawal tahun ini, dibuat agenda lebih banyak lagi deh mengibanya..merayu Allah habis-habisan. Agar DIA berkehendak untuk menitipkan ciptaannya kepada kami. Satuuuu saja. Yang aku kandung dan aku lahirkan dari rahimku sendiri. Yang akan meneruskan garis keturunanku.

Semoga Allah ridho. Semoga Allah berkehendak.